postingan ini merupakan sebuah cerpen yang baru-baru ini berhasil gue buat. jadi kemaren gue sempet ikutin kelas akber (akademi berbagi). barangkali di kota lo ada, gue saranin ikut aja. tuh kelas dari gerakan sosial jadi gratis. gue suka akber juga karna mereka nawarin macem-macem tema per bulannya. nggak monoton. tapi usul gue slama ini buat ngadain kelas 'belajar move on' belum direken. sekali lagi belum. bukan enggak *optimis
gue baru ikut kelas akber sekali doang dan temanya pas banget sama minat gue >> kelas 'asyiknya menulis'. gue emang lagi gencar-gencarnya pengen nulis. iya, udah beli bolpen satu box gitu. padahal harganya enggak didiskon. tapi gue beli. kurang berkorban apa coba gue demi nulis.
kelas akber waktu itu ngehadirin seorang penulis sekaligus editor sekaligus penerjemah sekaligus manusia buat jadi pematerinya. dia bikin kita-kita yang dateng jadi lebih semangat nulis. terimakasih bapaaak
apa lagi dia nawarin kita semua yang dateng buat bikin satu cerpen per orang terus dia bakal bikin antaloginya dari karya-karya kita itu. nah, ini nih, cerpen yang gue bikin buat disebarluaskan. judulnya masih absurd banget #problem. jadi gue juga sekalian minta saran ya buat judul cerpen ini biar lebih spesifik gitu. mungkin simpel, tapi gue pikir hal ini yang sering dialamin sama anak sekolahan tapi mungkin jarang dari kita yang sadar. langsung baca aja ya semoga bermanfaat
Esok hari Fahri harus
mengikuti tes harian bahasa Inggris. Ia belajar mati-matian malam ini demi mendapatkan
nilai bagus. Kebiasaan untuk jujur telah ia terapkan pada dirinya baru-baru
ini. Ia berjanji pada dirinya sendiri untuk selalu menjaga prinsip itu. Ia
ingat dengan perkataan mamanya, "tiadalah sesuatu itu berarti tanpa
kejujuran. Hanya dengan kejujuran segala permasalahan dapat engkau
pertanggungjawabkan dengan baik." Fahri memang selalu mendengarkan
kata-kata mamanya.
Fahri ingin malam itu
benar-benar serius belajar. Ia tidak ingin ada yang mengganggunya, apa pun itu.
Fahri memang ada kemajuan dalam belajarnya semenjak nilainya jatuh di semester
1 lalu. Dulu, ia lebih suka bermain game hingga lelah dan akhirnya melalaikan
belajar. Tapi ternyata, rencananya tidak semulus yang ia pikirkan. Berbagai
cobaan menghampirinya seolah-olah dunia menolaknya untuk belajar. Saudaranya
dari Surabaya datang, sehingga ia harus menemui mereka. Dia memang bisa
menemui mereka sambil belajar, namun konsentrasinya jelaslah berkurang. Tapi
ternyata mereka tidak lama. Mereka segera pamit karena ingin langsung ke rumah
nenek. Lolos pada cobaan yang pertama, datanglah cobaan berikutnya.
"Fahri, tolong belikan
mama garam ya di warung depan. Kalo masakannya ditinggal nanti tidak lekas
jadi." suara mama terdengar dari arah dapur sampai ke kamar Fahri.
"aduuh, jangan Fahri
deh ma. Adik kan juga bisa"
Sebenarnya sedang apa Fahri
ini di kamarnya. Tidak biasanya belajar sampai pintunya ditutup segala. Disuruh
beli garam sebentar pun tidak mau. Pikir mama sedikit kesal. Akhirnya mama
dengan menggendong si adik membeli garam sendiri. Namun tidak lama rasa kecewa
itu pun segera terhapus dan tergantikan dengan rasa pengertian. Fahri mungkin
sudah besar. Fahri ingin serius belajar. Fahri mungkin bosan disuruh-suruh
seperti itu.
Sudah hampir pukul 9 malam.
Fahri belum juga keluar dari kamarnya. Mama tau ia belum makan malam.
"Fahri, makan dulu
sayang. Sudah mama masakkan ayam goreng kesukaan kamu."
"udah deh ma, Fahri
mau belajar. Fahri nggak nafsu makan. Apalagi sama ayam goreng bosan."
Bosan? Sejak kapan? Malam
ini? Mama bertanya-tanya dalam hati sambil mengerutkan jidatnya. Padahal
masakan itu sudah disiapkan ya karena Fahri yang suka. Siapa lagi? Entahlah,
mungkin Fahri benar-benar sedang tidak mau diganggu.
Di sekolah. Fahri melangkah
menuju kelas dengan mantap. Ia yakin ia bisa membabat habis semua soal-soal.
Bagaimana tidak, ia sudah belajar mati-matian hingga larut malam. Semua materi
telah ia pelajari tanpa ada yang terlewat. Hingga tes itu pun datang. Semua
murid berusaha menjawab semua soal dengan benar. Bahkan tidak sedikit anak yang
mencontek kesana kemari. Namun Fahri tetap pada prinsip tentang apa yang telah
ia dengar dari mamanya. Selama tes berlangsung, Fahri berusaha mengerjakannya
dengan jujur. Meskipun ketika mengerjakan ada beberapa soal yang sempat
membuatnya bimbang. Namun Fahri tetap optimis.
Hari pembagian hasil tes
tiba. Nilai Fahri tidak begitu memuaskan seperti apa yang ia harapkan bahkan
membuatnya merasa sedikit kecewa. Ini tidak adil baginya. Ia sudah berusaha
semaksimal mungkin dan mengerjakannya dengan jujur. Harusnya Tuhan lebih
berpihak padanya. Itu yang Fahri tahu. Sedangkan Ari yang malas belajar pun
mendapat nilai lebih tinggi darinya. 'huh, pantas saja. Dia mencontek!’ sanggah
Fahri dalam hati.
Guru bahasa Inggris, bu
Wilda, menenangkan semua murid yang telah menerima hasil tes dan memerintahkan
duduk rapi di bangku masing-masing.
"ya, setelah ibu
koreksi, nilai kalian memang berfariasi. Selamat bagi yang mendapatkan nilai
bagus. Ibu bangga pada kalian. Ibu harap terus ada kemajuan dari kalian. Dan
bagi yang nilainya kurang, ibu minta kalian lebih serius dalam belajar."
'saya sudah sangat serius,
bu. Kurang apa lagi?' sahut Fahri dalam hati tidak terima.
"di samping belajar
yang giat, jangan lupa meminta restu pada kedua orangtua kalian ya. Itu juga
penting. Pasti mereka akan mendoakan kalian dan kalian akan lebih
dimudahkan oleh Tuhan dalam mengerjakan, insyaallah."
Ketika bu Wilda mencoba
memberi sedikit pengarahan seperti itu, tiba-tiba Fahri teringat akan kejadian
malam itu. Dia bukannya meminta restu dan doa pada mamanya, malah ia tidak
mengacuhkan perkataan mamanya, mengabaikan, bahkan sudah berkata tidak sopan
yang mungkin telah membuat mamanya merasa sedih dan kecewa. Ah, mungkin ini
jawaban dari semua pertanyaan Fahri. Mungkin dia memang sudah belajar
mati-matian, mungkin dia juga sudah berusaha bersikap jujur, namun ia juga
melupakan sesuatu yang tidak kalah pentingnya. Dimana kewajiban seorang anak
kepada orangtua yaitu berbakti kepadanya. Fahri merasa sangat bersalah. Nilai
bukanlah yang terpenting. Yang terpenting justru proses yang kita lalui dengan
sebaik-baiknya. Bahkan hal buruk lain pun ternyata bisa memepengaruhi hasil
kerja kita sehingga hasilnya kurang maksimal. Seketika itu juga, Fahri ingin
segera pulang, menemui mamanya, memeluknya, dan meminta maaf kepadanya. Rasa
penyesalan itu berakhir pada sebuah pembelajaran yang berarti baginya. Ia pun
bersyukur atas sebuah pengingatan ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar