Selasa, 07 Mei 2013

Selepas Nyobain Kelas Akber

postingan ini merupakan sebuah cerpen yang baru-baru ini berhasil gue buat. jadi kemaren gue sempet ikutin kelas akber (akademi berbagi). barangkali di kota lo ada, gue saranin ikut aja. tuh kelas dari gerakan sosial jadi gratis. gue suka akber juga karna mereka nawarin macem-macem tema per bulannya. nggak monoton. tapi usul gue slama ini buat ngadain kelas 'belajar move on' belum direken. sekali lagi belum. bukan enggak *optimis
gue baru ikut kelas akber sekali doang dan temanya pas banget sama minat gue >> kelas 'asyiknya menulis'. gue emang lagi gencar-gencarnya pengen nulis. iya, udah beli bolpen satu box gitu. padahal harganya enggak didiskon. tapi gue beli. kurang berkorban apa coba gue demi nulis. 
kelas akber waktu itu ngehadirin seorang penulis sekaligus editor sekaligus penerjemah sekaligus manusia buat jadi pematerinya. dia bikin kita-kita yang dateng jadi lebih semangat nulis. terimakasih bapaaak
apa lagi dia nawarin kita semua yang dateng buat bikin satu cerpen per orang terus dia bakal bikin antaloginya dari karya-karya kita itu. nah, ini nih, cerpen yang gue bikin buat disebarluaskan. judulnya masih absurd banget #problem. jadi gue juga sekalian minta saran ya buat judul cerpen ini biar lebih spesifik gitu. mungkin simpel, tapi gue pikir hal ini yang sering dialamin sama anak sekolahan tapi mungkin jarang dari kita yang sadar. langsung baca aja ya semoga bermanfaat



Esok hari Fahri harus mengikuti tes harian bahasa Inggris. Ia belajar mati-matian malam ini demi mendapatkan nilai bagus. Kebiasaan untuk jujur telah ia terapkan pada dirinya baru-baru ini. Ia berjanji pada dirinya sendiri untuk selalu menjaga prinsip itu. Ia ingat dengan perkataan mamanya, "tiadalah sesuatu itu berarti tanpa kejujuran. Hanya dengan kejujuran segala permasalahan dapat engkau pertanggungjawabkan dengan baik." Fahri memang selalu mendengarkan kata-kata mamanya.

Fahri ingin malam itu benar-benar serius belajar. Ia tidak ingin ada yang mengganggunya, apa pun itu. Fahri memang ada kemajuan dalam belajarnya semenjak nilainya jatuh di semester 1 lalu. Dulu, ia lebih suka bermain game hingga lelah dan akhirnya melalaikan belajar. Tapi ternyata, rencananya tidak semulus yang ia pikirkan. Berbagai cobaan menghampirinya seolah-olah dunia menolaknya untuk belajar. Saudaranya dari Surabaya datang, sehingga ia harus menemui mereka. Dia memang  bisa menemui mereka sambil belajar, namun konsentrasinya jelaslah berkurang. Tapi ternyata mereka tidak lama. Mereka segera pamit karena ingin langsung ke rumah nenek. Lolos pada cobaan yang pertama, datanglah cobaan berikutnya.
"Fahri, tolong belikan mama garam ya di warung depan. Kalo masakannya ditinggal nanti tidak lekas jadi." suara mama terdengar dari arah dapur sampai ke kamar Fahri.
"aduuh, jangan Fahri deh ma. Adik kan juga bisa"
Sebenarnya sedang apa Fahri ini di kamarnya. Tidak biasanya belajar sampai pintunya ditutup segala. Disuruh beli garam sebentar pun tidak mau. Pikir mama sedikit kesal. Akhirnya mama dengan menggendong si adik membeli garam sendiri. Namun tidak lama rasa kecewa itu pun segera terhapus dan tergantikan dengan rasa pengertian. Fahri mungkin sudah besar. Fahri ingin serius belajar. Fahri mungkin bosan disuruh-suruh seperti itu.

Sudah hampir pukul 9 malam. Fahri belum juga keluar dari kamarnya. Mama tau ia belum makan malam.
"Fahri, makan dulu sayang. Sudah mama masakkan ayam goreng kesukaan kamu."
"udah deh ma, Fahri mau belajar. Fahri nggak nafsu makan. Apalagi sama ayam goreng bosan."
Bosan? Sejak kapan? Malam ini? Mama bertanya-tanya dalam hati sambil mengerutkan jidatnya. Padahal masakan itu sudah disiapkan ya karena Fahri yang suka. Siapa lagi? Entahlah, mungkin Fahri benar-benar sedang tidak mau diganggu.

Di sekolah. Fahri melangkah menuju kelas dengan mantap. Ia yakin ia bisa membabat habis semua soal-soal. Bagaimana tidak, ia sudah belajar mati-matian hingga larut malam. Semua materi telah ia pelajari tanpa ada yang terlewat. Hingga tes itu pun datang. Semua murid berusaha menjawab semua soal dengan benar. Bahkan tidak sedikit anak yang mencontek kesana kemari. Namun Fahri tetap pada prinsip tentang apa yang telah ia dengar dari mamanya. Selama tes berlangsung, Fahri berusaha mengerjakannya dengan jujur. Meskipun ketika mengerjakan ada beberapa soal yang sempat membuatnya bimbang. Namun Fahri tetap optimis.

Hari pembagian hasil tes tiba. Nilai Fahri tidak begitu memuaskan seperti apa yang ia harapkan bahkan membuatnya merasa sedikit kecewa. Ini tidak adil baginya. Ia sudah berusaha semaksimal mungkin dan mengerjakannya dengan jujur. Harusnya Tuhan lebih berpihak padanya. Itu yang Fahri tahu. Sedangkan Ari yang malas belajar pun mendapat nilai lebih tinggi darinya. 'huh, pantas saja. Dia mencontek!’ sanggah Fahri dalam hati.

Guru bahasa Inggris, bu Wilda, menenangkan semua murid yang telah menerima hasil tes dan memerintahkan duduk rapi di bangku masing-masing.
"ya, setelah ibu koreksi, nilai kalian memang berfariasi. Selamat bagi yang mendapatkan nilai bagus. Ibu bangga pada kalian. Ibu harap terus ada kemajuan dari kalian. Dan bagi yang nilainya kurang, ibu minta kalian lebih serius dalam belajar."
'saya sudah sangat serius, bu. Kurang apa lagi?' sahut Fahri dalam hati tidak terima.
"di samping belajar yang giat, jangan lupa meminta restu pada kedua orangtua kalian ya. Itu juga penting. Pasti mereka akan mendoakan kalian dan kalian akan  lebih dimudahkan oleh Tuhan dalam mengerjakan, insyaallah."

Ketika bu Wilda mencoba memberi sedikit pengarahan seperti itu, tiba-tiba Fahri teringat akan kejadian malam itu. Dia bukannya meminta restu dan doa pada mamanya, malah ia tidak mengacuhkan perkataan mamanya, mengabaikan, bahkan sudah berkata tidak sopan yang mungkin telah membuat mamanya merasa sedih dan kecewa. Ah, mungkin ini jawaban dari semua pertanyaan Fahri. Mungkin dia memang sudah belajar mati-matian, mungkin dia juga sudah berusaha bersikap jujur, namun ia juga melupakan sesuatu yang tidak kalah pentingnya. Dimana kewajiban seorang anak kepada orangtua yaitu berbakti kepadanya. Fahri merasa sangat bersalah. Nilai bukanlah yang terpenting. Yang terpenting justru proses yang kita lalui dengan sebaik-baiknya. Bahkan hal buruk lain pun ternyata bisa memepengaruhi hasil kerja kita sehingga hasilnya kurang maksimal. Seketika itu juga, Fahri ingin segera pulang, menemui mamanya, memeluknya, dan meminta maaf kepadanya. Rasa penyesalan itu berakhir pada sebuah pembelajaran yang berarti baginya. Ia pun bersyukur atas sebuah pengingatan ini.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar