Minggu, 04 Mei 2014

Di Mana Langit Senjaku?

Kini dahigu sudah semakin bercucuran keringat. Seharian aku dan adikku bermain tanah di kebun belakang. Tanah itu kubuat rong rong untuk kelinciku yang lincahnya bukan main. Beda dengan adikku yang berkali-kali berusaha menciduk-ciduk tanah yang kemudian diangkut ke sebuah truk mainan milikknya. Baju kami sudah tidak berbentuk lagi. Penuh dengan tanah. Tak jarang ketika itu kami mengabaikan suara ibu yang terdengar sedikit memaksa kami untuk segera masuk ke dalam rumah. “Cepat mandi, bersihkan diri kalian!”
 
Semakin sore, suasana mendadak berubah kelam. Suasana mendung berhasil menyelimuti total langit sore kali ini. Tak perlu diteriaki lagi, mood kami untuk bermain memudar seiring awan hitam semakin ramai memenuhi langit-langit senja yang seharusnya indah. Seindah perasaan kami saat bermain tadi. Aku tidak mengerti. Seharusnya langit lebih mengerti apa-apa yang sedang terjadi di muka bumi ini. Setelah merasakan terik yang tak kuhiraukan tadi, seharusnya aku melihat oren, jingga, atau apalah namanya, seperti biasa. Senja yang mampu menyejukkan hati di kala gundah. Senja yang mampu menuntun di kala terpuruk oleh rasa keragu-raguan. Senja yang selalu kunantikan. 

Suara bising shower terdengar jelas ketika aku menyalakannya cukup keras. Memukuli sisa-sisa tanah yang melekat di kaki, juga tanganku. Aku sibuk bermain dengan busa sabun yang sampai ke dinding-dinding kamar mandi. Suara air yang menyala terdengar semakin kencang. Tunggu, itu bukan hanya suara air yang aku nyalakan. Tapi juga dari langit. Hujan yang lebat. Buruk, aku tidak suka ini. Sangat tidak suka. Membuat hati menjadi gelisah. Memacu aliran darah secepat jatuhnya air dari langit ke tanah yang jaraknya berjuta-juta kaki. Mengembalikan ini pada pengalamanku dulu. Pengalaman pilu di tengah hujan yang ikut mencabik-cabik perasaanku. Aku memilih menyendiri di kamar selepas mandi. Ingin segera memejamkan mata, dan melupakan semuanya.

Bodoh, mana bisa aku tertidur dengan senyuman hangat dan kemudian mendapati mimpi indah dalam keadaan seperti ini? Petir-petir beringas, tanpa mengenal waktu, seenaknya saja menyambar kesana kemari. Lampu kamar sudah seperti diskotek saja karena efek kilat berkali-kali. Suara deras hujan, petir, kilat, dan hati ini, seakan merencanakan untuk menghukumku bersama-sama malam ini. Air mataku sempurna menetes sekarang. Tangisan pemberontakan. Enak saja, semua itu bukan salahku! “Pergi kalian!” Ternyata, suaraku juga sedang tidak mendukungku. Bukan teriakan yang terjadi, hanya suara serak yang tak jelas terdengar.

Malam semakin larut. Aku belum juga bisa tertidur. Hujan belum juga mereda, apalagi berhenti. Tapi petir masih saja menyambar. Kilat masih saja datang mengganggu. Hanya suara ayah, ibu, dan adikku yang sudah tidak terdengar lagi. Bagaimana bisa mereka tertidur pulas disaat dunia langit seperti sedang berperang ini?

Aku tidak tahan. Benar-benar buruk. Bahkan aku merasa terkurung. Terkurung di kamarku sendiri? Lelucon! Tapi inilah nyatanya. Aku sama sekali tidak sanggup berdiri. Jangankan berdiri, bergerak saja tak mampu. Mulutku serasa dibungkam lakban lima lapis. Air mataku pun sudah lelah mengikuti alur cerita malam ini. Cukup raja langit yang mampu melakukan ini padaku. Perasaan itu semakin kuat seiring lamanya suasana malam ini. Lama. Saaangat lama.

Tak ada lagikah siang datang menyapa? Mencerahkan dunia dan hati ini yang sedang remuk redam. Tak ada lagikah matahari muncul di ufuk, tersenyum hangat? Menentramkan. Bukankah baru tadi sore gelak tawaku memecah, bahagia, bermain berasama kelinciku yang entah sekarang sedang apa dirinya. Samakah perasaannya dengan perasaanku saat ini?

Aku menyerah. Kuserahkan diriku sepenuhnya pada raja langit. Aku sudah tidak lagi memberontak. Tidak lagi menolak. Tenagaku sudah habis. Aku kalah oleh perasaanku sendiri. Dengan sisa-sisa kemampuanku, aku mencoba menatap langit dari balik jendela kamar. Menyampaikan bahwa aku tidak tahan lagi. Dan sepertinya, langit menjawab.

Benar, di semua hitam kelam langit itu, ada pancaran cahaya dari arah selatan. Tepat lurus dari pandanganku. Dari jarak yang paling ujung. Mataharikah? Sudah pagikah? Hatikupun seakan sedikit kembali merekah. Tunggu, selatan? Matahari dari selatankah? Atau, kiamatkah? Aku mengerutkan dahi. Ooh, apa lagi ini? Cahaya itu semakin nampak. Cahaya kemilauan. Kini, hampir memenuhi sepertiga langit yang berhasil kupandang. Ooh, tidak! Ini mustahil! Mulutku sempurna membulat, menganga takjub. Tidak percaya. Biru. Beku. Duniaku, menjadi dunia salju. Kini yang turun bukan lagi air deras mengguyur. Tapi bola-bola kecil, seperti mutiara. Itukah namanya salju? Indah.

Entah darimana datangnya kekuatan itu lagi. Kini kakiku tengah menuruni anak tangga. Aku tidak sabar keluar rumah. Benar saja, di luar sudah ramai para tetangga. Ayah dan ibu juga terlihat sedang takjub akan pemandangan ini. Adikku sudah asyik memainkan salju yang menempel di dahan-dahan. Semuanya terlihat sangat riang. Mereka mengulas senyum lebar. Anak-anak kecil tertawa lepas. Hatiku? Sudahkah ia sempurna merekah sekarang? Seindah hamparan putih salju yang ada di setiap aku memandang. Sudahkah? Seketika itu, aku tersadar. Keindahan ini, hanyalah mimpi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar