Kini dahigu sudah semakin bercucuran keringat.
Seharian aku dan adikku bermain tanah di kebun belakang. Tanah itu kubuat rong
rong untuk kelinciku yang lincahnya bukan main. Beda dengan adikku yang
berkali-kali berusaha menciduk-ciduk tanah yang kemudian diangkut ke sebuah
truk mainan milikknya. Baju kami sudah tidak berbentuk lagi. Penuh dengan
tanah. Tak jarang ketika itu kami mengabaikan suara ibu yang terdengar sedikit
memaksa kami untuk segera masuk ke dalam rumah. “Cepat mandi, bersihkan diri
kalian!”
Semakin sore, suasana mendadak
berubah kelam. Suasana mendung berhasil menyelimuti total langit sore kali ini. Tak
perlu diteriaki lagi, mood kami untuk
bermain memudar seiring awan hitam semakin ramai memenuhi langit-langit senja
yang seharusnya indah. Seindah perasaan kami saat bermain tadi. Aku tidak
mengerti. Seharusnya langit lebih mengerti apa-apa yang sedang terjadi di muka
bumi ini. Setelah merasakan terik yang tak kuhiraukan tadi, seharusnya aku
melihat oren, jingga, atau apalah namanya, seperti biasa. Senja yang mampu
menyejukkan hati di kala gundah. Senja yang mampu menuntun di kala terpuruk
oleh rasa keragu-raguan. Senja yang selalu kunantikan.
Suara bising shower
terdengar jelas ketika aku menyalakannya cukup keras. Memukuli sisa-sisa tanah
yang melekat di kaki, juga tanganku. Aku sibuk bermain dengan busa sabun yang
sampai ke dinding-dinding kamar mandi. Suara air yang menyala terdengar semakin
kencang. Tunggu, itu bukan hanya suara air yang aku nyalakan. Tapi juga dari
langit. Hujan yang lebat. Buruk, aku tidak suka ini. Sangat tidak suka. Membuat
hati menjadi gelisah. Memacu aliran darah secepat jatuhnya air dari langit ke
tanah yang jaraknya berjuta-juta kaki. Mengembalikan ini pada pengalamanku
dulu. Pengalaman pilu di tengah hujan yang ikut mencabik-cabik perasaanku. Aku
memilih menyendiri di kamar selepas mandi. Ingin segera memejamkan mata, dan
melupakan semuanya.
Bodoh, mana bisa aku tertidur dengan senyuman hangat
dan kemudian mendapati mimpi indah dalam keadaan seperti ini? Petir-petir
beringas, tanpa mengenal waktu, seenaknya saja menyambar kesana kemari. Lampu
kamar sudah seperti diskotek saja karena efek kilat berkali-kali. Suara deras
hujan, petir, kilat, dan hati ini, seakan merencanakan untuk menghukumku
bersama-sama malam ini. Air mataku sempurna menetes sekarang. Tangisan
pemberontakan. Enak saja, semua itu bukan salahku! “Pergi kalian!” Ternyata,
suaraku juga sedang tidak mendukungku. Bukan teriakan yang terjadi, hanya suara
serak yang tak jelas terdengar.
Malam semakin larut. Aku belum juga bisa tertidur.
Hujan belum juga mereda, apalagi berhenti. Tapi petir masih saja menyambar.
Kilat masih saja datang mengganggu. Hanya suara ayah, ibu, dan adikku yang
sudah tidak terdengar lagi. Bagaimana bisa mereka tertidur pulas disaat dunia
langit seperti sedang berperang ini?
Aku tidak tahan. Benar-benar buruk. Bahkan aku merasa
terkurung. Terkurung di kamarku sendiri? Lelucon! Tapi inilah nyatanya. Aku
sama sekali tidak sanggup berdiri. Jangankan berdiri, bergerak saja tak mampu.
Mulutku serasa dibungkam lakban lima lapis. Air mataku pun sudah lelah
mengikuti alur cerita malam ini. Cukup raja langit yang mampu melakukan ini
padaku. Perasaan itu semakin kuat seiring lamanya suasana malam ini. Lama.
Saaangat lama.
Tak ada lagikah siang datang menyapa? Mencerahkan
dunia dan hati ini yang sedang remuk redam. Tak ada lagikah matahari muncul di
ufuk, tersenyum hangat? Menentramkan. Bukankah baru tadi sore gelak tawaku
memecah, bahagia, bermain berasama kelinciku yang entah sekarang sedang apa
dirinya. Samakah perasaannya dengan perasaanku saat ini?
Aku menyerah. Kuserahkan diriku sepenuhnya pada raja
langit. Aku sudah tidak lagi memberontak. Tidak lagi menolak. Tenagaku sudah
habis. Aku kalah oleh perasaanku sendiri. Dengan sisa-sisa kemampuanku, aku
mencoba menatap langit dari balik jendela kamar. Menyampaikan bahwa aku tidak
tahan lagi. Dan sepertinya, langit menjawab.
Benar, di semua hitam kelam langit itu, ada pancaran
cahaya dari arah selatan. Tepat lurus dari pandanganku. Dari jarak yang paling
ujung. Mataharikah? Sudah pagikah? Hatikupun seakan sedikit kembali merekah.
Tunggu, selatan? Matahari dari selatankah? Atau, kiamatkah? Aku mengerutkan
dahi. Ooh, apa lagi ini? Cahaya itu semakin nampak. Cahaya kemilauan. Kini,
hampir memenuhi sepertiga langit yang berhasil kupandang. Ooh, tidak! Ini
mustahil! Mulutku sempurna membulat, menganga takjub. Tidak percaya. Biru.
Beku. Duniaku, menjadi dunia salju. Kini yang turun bukan lagi air deras
mengguyur. Tapi bola-bola kecil, seperti mutiara. Itukah namanya salju? Indah.
Entah darimana datangnya kekuatan itu lagi. Kini
kakiku tengah menuruni anak tangga. Aku tidak sabar keluar rumah. Benar saja,
di luar sudah ramai para tetangga. Ayah dan ibu juga terlihat sedang takjub
akan pemandangan ini. Adikku sudah asyik memainkan salju yang menempel di
dahan-dahan. Semuanya terlihat sangat riang. Mereka mengulas senyum lebar.
Anak-anak kecil tertawa lepas. Hatiku? Sudahkah ia sempurna merekah sekarang?
Seindah hamparan putih salju yang ada di setiap aku memandang. Sudahkah?
Seketika itu, aku tersadar. Keindahan ini, hanyalah mimpi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar