Kini dahigu sudah semakin bercucuran keringat.
Seharian aku dan adikku bermain tanah di kebun belakang. Tanah itu kubuat rong
rong untuk kelinciku yang lincahnya bukan main. Beda dengan adikku yang
berkali-kali berusaha menciduk-ciduk tanah yang kemudian diangkut ke sebuah
truk mainan milikknya. Baju kami sudah tidak berbentuk lagi. Penuh dengan
tanah. Tak jarang ketika itu kami mengabaikan suara ibu yang terdengar sedikit
memaksa kami untuk segera masuk ke dalam rumah. “Cepat mandi, bersihkan diri
kalian!”
Semakin sore, suasana mendadak
berubah kelam. Suasana mendung berhasil menyelimuti total langit sore kali ini. Tak
perlu diteriaki lagi, mood kami untuk
bermain memudar seiring awan hitam semakin ramai memenuhi langit-langit senja
yang seharusnya indah. Seindah perasaan kami saat bermain tadi. Aku tidak
mengerti. Seharusnya langit lebih mengerti apa-apa yang sedang terjadi di muka
bumi ini. Setelah merasakan terik yang tak kuhiraukan tadi, seharusnya aku
melihat oren, jingga, atau apalah namanya, seperti biasa. Senja yang mampu
menyejukkan hati di kala gundah. Senja yang mampu menuntun di kala terpuruk
oleh rasa keragu-raguan. Senja yang selalu kunantikan.